TIPS
MENGHADAPI WARTAWAN GADUNGAN
Setelah era reformasi bergulir, media cetak
(koran, tabloid, majalah) dan media online tumbuh seperti cendawan di musim
penghujan. Media cetak dan media online baru itu tidak tersentral di Jakarta,
tetapi juga tumbuh di berbagai pelosok di Indonesia.
Parahnya, bersamaan dengan tumbuh suburnya
media massa dan mudahnya warga Indonesia menerbitkan usaha penerbitan media
cetak dan media online, sumber daya manusia (SDM) justru jadi acak adut. Karena
kepepet untuk mendapatkan pekerjaaan, seorang yang tidak punya latar belakang
pendidikan jurnalistik atau tidak punya pengalaman pun bisa menjadi wartawan.
Tak jarang, kita dengan mudah menemukan
seorang satpam, tukang parkir, dan makelar pun nyambi menjadi wartawan. Mereka
berpakaian necis, pakai rompi wartawan, dan emblem bertuliskan “PERS”. Di saku
bajunya terselip kartu pers dan (tak jarang) kartu anggota LSM.
Di antara mereka memang ada yang mau belajar
dan benar-benar menjalankan tugas jurnalistik. Artinya, mereka menghasilkan
berita hasil liputan di lapangan, Namun, tidak jarang di antara para wartawan
itu hanya menggunakan kartu pers sebagai modal untuk bertemu narasumber. Bukan
berita yang dicari, tetapi uang. Ada yang dengan cara halus. tetapi tidak
jarang dengan cara kasar.
Cara halus misalnya dengan minta ongkos atau
uang bensin kepada narasumber (umumnya narasumber pejabat). Cara kasar,
misalnya, dengan memeras dan minta uang jatah proyek. Seolah-olah wartawan
memiliki hak mendapatkan jatah dari sebuah proyek.
Menghadapi wartawan yang berangasan seperti
itu, bukanlah perkara mudah. Tidak jarang panitia sebuah acara seminar harus
lari terbirit-birit karena dikejar wartawan yang ingin minta uang amplop yang
dianggapnya sebagai haknya itu.
Beberapa direktur NGO, kepala dinas, dan
kepala sekolah sering mengeluhkan perilaku wartawan. Mereka sering pusing
ketika harus berhadapan dengan wartawan yang datang bukan untuk mencari
informasi, tetapi minta jatah uang.
Nah, bagi pejabat, bos, atau panitia kegiatan yang sering pusing
menghadapi wartawan macam itu, tips berikut ini bisa dicoba :
Jangan
Memberi Wartawan Uang,
meskipun itu hanya “uang bensin”. Sebab, sekali Anda memberikan “uang bensin”
ia atau teman-temannya lain akan rajin datang ke kantor Anda. Bukan untuk mendapatkan
data sebagai bahan menulis, tetapi mau minta “uang bensin”.
Tanyakan
Identitasnya
: namanya siapa, dari media mana. Kalau ragu dengan jawaban wartawan, tanyakan
kartu pers atau surat tugas.
Kenalilah
Ciri-Cirinya,
perhatikan cara menyampaikan maksud dan cara melakukan wawancara. Wartawan
betulan akan bisa melakukan wawancara dengan baik, pertanyaan-pertanyaan tidak
bersifat menuduh atau menghakimi. Sebaliknya, wartawan gadungan atau wartawan
nakal pada umumnya akan langsung pada pokok masalah. Misalnya dengan pernyataan
ada kasus korupsi atau penyimpangan di
lembaga Anda.
Jangan
Terkecoh Dengan Penampilan. Janganlah Anda menganggap bahwa orang yang mengenakan
rompi bertuliskan “PERS” sudah pasti adalah wartawan betulan. Tidak jarang,
wartawan betulan justru tidak memakai atribut seperti itu. Mereka biasa saja.
Terimalah Mereka Dengan Baik. Berpikirlah
positif dan anggaplah mereka itu memang
wartawan yang ingin mendapatkan informasi untuk menulis berita.
Jika
Ada Gelagat Tidak Baik, misalnya, si wartawan akan melakukan pemerasan,
janganlah kalah gertak. Bersikaplah tenang.
Jika
Wartawan Sudah Menyinggung Soal Kasus Di Lembaga Anda Sedangkan Anda Meyakini
Tidak Ada Kasus Di Lembaga Anda, Maka Anda Tidak Perlu Takut. Jawablah setiap
pertanyaan dengan baik. Jawaban Anda akan menentukan apakah mereka akan berani
melakukan aksi selanjutnya atau tidak. Jika jawaban Anda meyakinkan, mereka
tidak akan berani macam-macam.
Jangan
Lupa Siapkan Rekaman
(semisal dengan ponsel atau gadget yang bisa Anda masukkan ke kantong celana).
Rekaman ini akan bermanfaat jika mereka menggertak, mengancam, dan memeras.
Akan lebih baik jika ruangan Anda ada CCTV sehingga setiap pembicaraan Anda
dengan wartawan itu bisa terekam dengan baik.
Jika
Perusahaan Atau Bos Anda Menyediakan Amplop Dan Sepertinya Memang Sudah Jadi
Tradisi Di Lembaga Anda, Maka Jika Menggelar Konferensi Pers Atau Seminar
Undanglah Wartawan Dari Media Yang Jelas. Artinya, media itu memang benar-benar ada
bukti produknya, bisa diverifikasi, dan rutin terbit. Jika ada kelompok
wartawan menyodorkan daftar nama untuk diberi amplop, coba dicek apakah nama di
daftar itu termasuk wartawan dari media yang Anda undang. Kalau bukan, Anda
bisa menolak kehadirannya.
PERLU
DICAMKAN
: Wartawan betulan tidak mencari uang amplop ketika melakukan wawancara atau
menghadiri konferensi pers. Wartawan masih diperbolehkan menerima uang dari panitia acara jika mereka
menjadi peserta workshop atau seminar yang menempatkan para wartawan sebagai peserta.
Namun, ada juga media yang tetap melarang semua jenis pemberian dari
narasumber/panitia acara.
Tidak ada salahnya Anda membekali diri
dengan pengetahuan tentang dunia pers, UU Pers, dan organisasi profesi
wartawan. Wartawan gadungan biasanya akan keder kalau calon sasarannya adalah
narasumber yang paham tentang dunia pers. Ya. wartawan yang menjalankan tugas
profesinya dengan benar adalah wartawan yang bekerja untuk kepentingan publik,
bukan untuk kepentingan diri sendiri, apalagi untuk sekadar cari uang receh.
Karena bekerja untuk publik itulah maka wartawan diberi “keistimewaaan” yang
diatur UU Pers dan aturan lain oleh Dewan Pers.
Ada pertanyaan yang mampir ke blog saya ini.
Bagaimana mengatasi wartawan bodrex ? Istilah wartawan bodrex sama artinya
dengan wartawan nakal. Ia sering mempergunakan kedok profesinya untuk meminta
upeti kepada pejabat/pengusaha. Pun melakukan aksi tipu-tipu dan memeras.
Wartawan bodrex semakin banyak muncul setelah era reformasi. Saat itu kebebasan
pers benar-benar diwujudkan. Setiap orang atau lembaga mudah membuat media,
baik itu berupa tabloid, majalah, koran, dan buletin.
Namun kebebasan yang dinikmati itu
dimanfaatkan oleh segelintir oknum yang tak bertanggung jawab. Berita yang
ditampilkan tidak sesuai dengan fakta. Bahkan tak sedikit mengadu domba di tengah-tengah
masyarakat. Pers pun menghadapi dilema. Antara kebebasan dan tangung jawab. Tak
jarang beberapa tokoh menyebut pers kita lebih liberal dari negara liberal
sekali pun. Dalam kondisi inilah tumbuh subur wartawan nakal.
Wartawan nakal berada di setiap level, yakni
di level pimpinan, level redaksi, dan di lapangan. Yang paling banyak jumlahnya
tentu saja di level lapangan. Namun yang paling banyak mendapatkan fulusnya di
level pimpinan dan redaksi. Kenapa wartawan mau berbuat nakal. Setidaknya ada dua
alasan, yakni ketimpangan penghasilan wartawan dan mental suap. Oknum wartawan
nakal mempunyai strategi, yakni menyerang instansi yang ada indikasi korupsi
dan menyerang oknum pejabat yang sarat skandal.
BERIKUT
INI JURUS AMPUH MENGATASI OKNUM WARTAWAN NAKAL :
- Bersahabat Dengan Wartawan Profesional
- Bersahabat Dengan Pengurus Organisasi Wartawan
- Bersahabat Dengan Pimpinan Media Massa Lokal
- Jangan Takut Digertak Oknum Wartawan
- Jangan Terkecoh Dengan Kartu Pers
- Jujur Dalam Melaksanakan Tugas
- Jalin Komunikasi Dengan Aparat Keamanan
- Berani Tolak Permintaan Amplop.
Jurus ini bisa menjadi referensi bagi
pejabat, pengusaha, birokrat, atau masyarakat yang sering bersinggungan dengan
wartawan. Memang tidak semua wartawan nakal, bahkan yang baik jumlahnya lebih
banyak. Namun jika ketemu dengan oknum wartawan nakal, tak salah jika jurus di
atas dipakai.